JAKARTA, Waspada.co.id – Nilai tukar rupiah hari ini, Senin (23/10) akan berfluktuasi namun akan ditutup melemah akibat fluktuasi di pasar keuangan global termasuk dolar AS setelah eskalasi perang Israel vs Hamas yang meluas.
Pada perdagangan pekan kemarin, Jumat (20/10) rupiah ditutup melemah tembus ke Rp15.872 atau terkoreksi 0,36% dari posisinya pada awal pembukaan Rp15.845 per dolar AS. Sementara indeks mata uang negeri Paman Sam semakin perkasa setelah menguat 0,09% ke level 106,35.
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menilai pelemahan nilai tukar rupiah yang terus merangkak mendekati Rp15.900 per dolar AS menjadi dampak dari memanasnya situasi geopolitik Timur Tengah. Kondisi ini telah menyebabkan sebagian besar pelaku usaha mewaspadai aset-aset berisiko.
Sementara itu, terdapat pengaruh dari komentar bernada dovish Ketua The Fed Jerome Powell yang mengatakan lonjakan imbal hasil atau yield obligasi AS telah membantu memperkuat kondisi keuangan sehingga mengurangi kebutuhan akan kenaikan suku bunga lebih lanjut.
Pergerakan rupiah hari ini juga dipengaruhi oleh keputusan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan ke 6% untuk menjaga kestabilan rupiah di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Di samping intervensi di pasar valuta asing (valas), lanjutnya, BI akan mempercepat upaya pendalaman pasar uang rupiah dan pasar valas.
“Untuk perdagangan hari, Senin (23/10), mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif dan berpotensi ditutup melemah ke rentang Rp15.860 hingga Rp15.940,” kata Ibrahim dalam riset dikutip, Senin (23/10).
Sementara itu, Ketua Komite Tetap Kebijakan Publik, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Chandra Wahjudi mengatakan, kenaikan suku bunga acuan menjadi 6% sebenarnya bukan sesuatu yang diharapkan di tengah kondisi ekonomi global yang tengah lesu. Pasalnya, kenaikan suku bunga acuan dikhawatirkan bakal memberikan beban tambahan terhadap kegiatan usaha.
“Di sisi lain, kami juga memahami kenaikan suku bunga juga untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” ujar Chandra kepada Bisnis, dikutip Minggu (22/10).
Untuk itu, kata Chandra, pengusaha memandang kenaikan suku bunga acuan BI sebesar 25 bps menjadi 6% seharusnya dapat segera menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Sebaliknya, apabila nilai tukar rupiah terus melemah justru akan berisiko menyumbang inflasi.
Musababnya, nilai rupiah yang anjlok bakal menambah overhead cost pelaku usaha. Terutama usaha di sektor yang masih mengandalkan impor untuk bahan baku produksinya.
“Terpaksa [pelaku usaha] harus membuat penyesuaian harga jual. Ini berisiko menyumbang inflasi,” ucapnya. Chandra memandang apabila nilai tukar rupiah bisa terus bangkit usai kenaikan suku bunga acuan, maka harga-harga dapat terkendali dan daya beli masyarakat bisa tetap terjaga. Begitupun dengan lonjakan inflasi dapat dihindari.
“Kami sangat berharap dengan adanya kenaikan suku bunga acuan tersebut pertumbuhan ekonomi nasional masih di atas 5%,” kata Chandra. (wol/bisnis/ari/d1)