Menyibak Wajah Nepotisme yang Tidak Berperikemanusiaan

by -114 Views

JAKARTA, Waspada.co.id – Maraknya penggunaan kentongan bambu sebagai simbol perubahan di pedesaan. Pakar komunikasi politik, Hendri Satrio menilai bahwa penggunaan kentongan bambu ini menunjukkan kegelisahan masyarakat terhadap kondisi politik saat ini.

Melalui postingan di akun Twitter-nya, Hensat menulis “Jika kata bungkam saatnya bunyi melawan #kentongan”. Menurutnya, masyarakat merasa semakin gelisah namun masih sedikit yang bersuara.

“Ini merupakan silent majority yang pasti akan bangkit ketika situasi mengharuskan, reformasi dan demokrasi dalam ancaman. Nepotisme dengan terang-terangan muncul,” ujarnya, Senin (6/11).

Tidak mengherankan jika masyarakat di pedesaan yang merasa gelisah menemukan kentongan bambu sebagai simbol untuk menyuarakan aspirasinya terhadap kondisi negara.

Menurutnya, tsunami perubahan hanya perlu menemukan momennya, “sekarang simbolnya sudah ditemukan, yaitu kentongan bambu. Ini berbahaya jika masyarakat terpaksa menggunakan simbol dan berbisik-bisik saat berbicara,” tambahnya.

Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang naiknya putra sulung Presiden Jokowi sebagai calon wakil presiden saat ayahnya berkuasa meningkatkan kegelisahan masyarakat.

“Para pemimpin harus waspada dengan hal ini,” katanya.

Secara terpisah, Ketua Majelis Nasional Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI), Untoro Hariadi, mengatakan bahwa kentongan merupakan alat komunikasi. Ketika mendengar suara kentongan, masyarakat mendapatkan pesan yang ingin disampaikan secara luas.

“Kentongan menjadi simbol untuk gerakan perubahan dan ada pesan yang kuat di dalamnya dengan berbagai macam ketukan. Misalnya, ketukan kentongan 5-7 memiliki makna ketika Anies meraih 57 persen suara dalam Pilkada DKI. Oleh karena itu, pola bunyi ini akan terus digunakan sebagai simbol untuk gerakan perubahan,” tutupnya. (liputan6/pel/d2)