Global Strategic Challenges: Climate Change

by -98 Views

Menurut ramalan dari banyak pakar, termasuk dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia hanya memiliki waktu 13 tahun mulai dari tahun 2023 untuk keluar dari jerat negara berpendapatan menengah.

Dalam 13 tahun ke depan, ekonomi Indonesia harus tumbuh dengan cepat dengan tingkat di atas 6%—tantangan yang besar mengingat hal ini jauh melampaui rata-rata pertumbuhan ekonomi global yang hanya sekitar 2%. Selain itu, kita tidak hidup dalam isolasi, dan dunia saat ini sedang menghadapi krisis-krisis yang beragam.

Pada bulan Oktober 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan, “Tantangan ke depan tidak semakin ringan tapi semakin berat. Dunia tidak dalam keadaan yang baik. Ada perang, perubahan iklim, dan krisis pangan.”

Perubahan Iklim

Bulan September 2023 adalah bulan September yang terpanas dalam sejarah Bumi. Peningkatan suhu global ini adalah hasil dari aktivitas manusia yang meningkat sejak revolusi industri pada tahun 1760-an, yang melibatkan pembakaran bahan bakar fosil dan peningkatan konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya di atmosfer.

Pada tahun 2015, 195 negara termasuk Indonesia menandatangani Perjanjian Paris, berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu global maksimum hingga 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri. Hal ini dapat dicapai dengan beralih dari bahan bakar fosil ke sumber energi baru dan terbarukan.

Oleh karena itu, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia telah berjanji untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru, mencoba pensiun dini pembangkit yang lebih tua, memberikan insentif untuk kendaraan listrik, dan mengembangkan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan seperti tenaga surya (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), panas bumi, dan air (Pembangkit Listrik Tenaga Air).

Pada tahun 2023, Indonesia juga meluncurkan pasar perdagangan karbon untuk memfasilitasi dan mempercepat insentif ekonomi untuk mencegah deforestasi dan proyek reboisasi.

Namun, upaya global untuk mencapai emisi gas rumah kaca net-zero belum optimal. Tahun ini, suhu rata-rata global sudah mencapai 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.

Dampak dari kenaikan suhu ini tidak hanya dirasakan di luar negeri tetapi juga di Indonesia.

Perubahan iklim telah menyebabkan kekeringan dan curah hujan ekstrem yang mengurangi produksi pangan, meningkatkan ketidakamanan pangan, menaikkan harga pangan, dan mengancam nyawa.

Peningkatan permukaan laut juga mengancam nyawa penduduk Indonesia yang tinggal di pulau-pulau kecil dan daerah pantai. Bagian-bagian Jakarta bahkan diprediksi akan tenggelam dalam 20-30 tahun mendatang jika tidak diambil tindakan.

Ini berarti bahwa kita harus segera mengembangkan kemampuan ekstra untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Misalnya, petani kita harus memiliki akses ke benih yang lebih tahan kekeringan. Rumah para nelayan kita di pantai harus lebih kuat untuk menahan banjir surut yang semakin tinggi.

Ini bukanlah tantangan kecil karena ini akan membutuhkan sumber daya finansial yang signifikan dan kapasitas adaptasi yang tinggi.

Source link