Jakarta, Waspada.co.id – Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas telah menerima instruksi dari Fraksi Partai Gerindra untuk menunda pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Salah satu alasannya membuat kemerdekaan pers terganggu.
“Kita tidak mau kemerdekaan pers itu terganggu. Pers sebagai lokomotif dan salah satu pilar demokrasi itu harus dipertahankan, karena itu buat demokrasi,” ujar Supratman.
Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid menegaskan bahwa tak ada niatan untuk mengecilkan peran pers lewat revisi UU Penyiaran. Apalagi hubungannya dengan Dewan Pers sebagai mitra kerja juga berlangsung baik dalam hal keberlangsungan media.
RUU Penyiaran saat ini belum ada, yang beredar saat ini adalah draf yang mungkin muncul dalam beberapa versi dan masih amat dinamis. Sebagai draf tentu penulisannya belum sempurna dan cenderung multitafsir,” ujar Meutya lewat keterangannya.
Tahapan penyusunan draf revisi UU Penyiaran disebutnya masih berlangsung di Baleg. Komisi I sendiri membuka ruang seluas-luasnya untuk berbagai masukan dari kelompok masyarakat terkait draf revisi undang-undang tersebut.
Di samping itu, Komisi I telah menggelar rapat internal untuk menyepakati pembentukan panitia kerja (Panja) revisi UU Penyiaran. Pihaknya pun dipastikan akan mempelajari masukan dari berbagai kelompok masyarakat.
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut dinilai oleh sejumlah pihak terdapat pasal-pasal yang kontroversial.
Sebelumnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyebut Komisi I DPR RI menargetkan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran selesai dibahas dan dapat disetujui menjadi undang-undang pada tahun 2024 ini.
Dewan Pers pun mempertanyakan urgensi RUU Penyiaran, sementara Presiden Joko Widodo sangat menghormati pers, bahkan mengeluarkan Perpres 32 tahun 2024 agar perusahaan platform memberikan dukungan pada hasil karya jurnalistik yang berkualitas.
Lebih lanjut, Ninik mengungkapkan bahwa RUU Penyiaran yang saat ini tengah digodok oleh Badan Legislasi DPR RI, dinilai sebagai upaya kesekian kalinya dalam memberangus kebebasan pers di Indonesia.
“Ini upaya memberangus pers kita dan dinilai akan membahayakan demokrasi, dan semangat reformasi di Indonesia, ketika hak warga negara untuk mengetahui dan berbicara sangat dibelenggu,” ujarnya.
Upaya memberangus pers Indonesia, kata Ninik, bukan kali pertama terjadi, di mana hal yang sama dilakukan saat perancangan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).