GRAND GENERAL TNI (RET.) H. M. SUHARTO

by -125 Views

Pak Harto merupakan orang yang rajin, disiplin, dan teliti. Saya menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Beliau bangun sangat pagi setiap hari. Setiap harinya beliau tiba di kantor tepat pukul 08.00 pagi. Fitur khas beliau adalah tulisan rapi dan ingatan yang kuat, juga dikenal sebagai ingatan fotografi. Beliau juga sangat baik dengan angka. Beliau juga seorang pembaca yang rajin. Oleh karena itu, Pak Harto sangat mendorong orang untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan ke luar negeri, meskipun beliau sendiri tidak pernah berpendidikan di luar negeri. Beliau selalu tersenyum. Beliau jarang marah atau terlihat marah. Ketika marah, beliau akan diam. Dan beliau tidak ingin berbicara dengan orang yang marah. Itu adalah beberapa kenangan saya tentang Pak Harto. Saya menjadi menantu Pak Harto pada tahun 1983. Saat itu, saya adalah seorang kapten dan telah menjalankan operasi di Timor Timur dua kali. Pertama kali pada tahun 1976 ketika saya adalah Komandan Peleton dari KOPASSANDHA Grup 1 (sekarang KOPASSUS) dengan pangkat Letnan Dua. Saya bergabung dengan tim Nanggala 10 yang dipimpin oleh Mayor Infanteri Yunus Yosfiah. Yang kedua pada tahun 1978, saat saya adalah Komandan Kompi Para- Commando dengan kode Chandraca 8. Pasukan saya adalah kompi pasukan serbu yang langsung berada di bawah komando komandan sektor. Pertama, saya di bawah Komandan Sektor Timur Infanteri Kolonel R.K. Sembiring Meliala. Lalu saya di bawah Komandan Sektor Pusat Infanteri Letnan Kolonel Sahala Rajagukguk. Saat itu, Infanteri Kolonel Sembiring adalah Komandan Resimen Tempur (RTP 18) dengan Brigade Infanteri KOSTRAD Linud 18 sebagai intinya. Sementara itu, Infanteri Letnan Kolonel Sahala Rajagukguk adalah Komandan Resimen Tempur (RTP 6), dengan Brigade Infanteri KOSTRAD 6 sebagai intinya. Pak Harto adalah orang yang rajin, disiplin, tepat waktu, dan teliti. Saya berkesempatan untuk menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Beliau bangun sangat pagi setiap hari. Beliau tiba di kantornya tepat pukul 08.00 pagi. Pada pukul 01.00 siang, beliau sudah di rumah untuk makan siang. Di sore hari, beliau bermain golf tiga kali seminggu. Sementara pukul 19.00 dari Senin hingga Jumat, beliau menerima tamu. Beliau makan malam pada pukul 21.00. Lalu pada pukul 21.35, setelah siaran berita Dunia Dalam Berita (World News) di TVRI selesai, beliau masuk ke ruang kerjanya. Ruang kerjanya sangat kecil. Meja kerjanya juga sangat kecil. Memang, jika kita bandingkan dengan rumah-rumah saat ini, bahkan rumah saya sendiri, rumahnya relatif lebih kecil. Kamar tidurnya bukan kamar mandi dalam. Itulah sebabnya ruang kerjanya sangat kecil. Setiap malam, akan ada tumpukan folder di mejanya yang dapat mencapai tinggi 40-50 sentimeter. Saya mendengar dari ajudannya bahwa setidaknya ada 40 folder dan surat yang dibacanya dan ditandatangani setiap malam dari Minggu hingga Jumat. Hanya pada Sabtu malam sajalah beliau tidak berada di mejanya. Seringkali saya melihat beliau bekerja hingga pukul 01.00 atau bahkan 02.00 pagi. Sementara itu, beliau akan bangun pada pukul 04.30 pagi atau paling lambat pukul 05.00. Terkadang beliau hanya tidur selama 3-4 jam. Hal ini berlangsung selama puluhan tahun. Kita hanya bisa membayangkan betapa rajin dan telitinya beliau. Kualitas khas lainnya adalah tulisan tangan rapi dan ingatan fotografinya. Beliau juga sangat baik dengan angka. Pada tahun 1985, ketika saya baru saja diangkat sebagai Komandan Batalyon Infanteri 328/KOSTRAD, saya pergi untuk bertemu dengannya. Beliau kemudian menceritakan kepada saya dengan panjang lebar dan detail pengalaman beliau dalam membentuk, merekrut, melatih, dan membangun sebuah batalyon tempur. Beliau menceritakan pengalamannya sebagai Komandan Regu, Komandan Peleton, Komandan Kompi, Perwira Operasi Batalyon, dan banyak lagi. Beliau membagikan banyak teknik praktis dan praktik-praktik serta hal-hal yang sangat detail. Beliau bahkan bisa mengingat tingkat pendidikan dari setiap bawahannya zaman dulu. Saya terkejut mendengar ceritanya. Pada saat itu, sudah 17 tahun sejak beliau meninggalkan TNI dan 35 tahun setelah tugasnya dalam Perang Kemerdekaan. Kita hanya bisa membayangkan betapa seorang Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan yang mengontrol agenda pembangunan nasional mulai dari pestisida, pupuk, benih, irigasi, pabrik pesawat terbang, pabrik kereta api hingga isu politik luar negeri, dan yang tidak lagi memimpin pasukannya selama puluhan tahun, masih bisa mengingat dengan jelas pembentukan, rekrutmen, dan pelatihan unit-unit militer di tingkat regu, peleton, kompi, dan batalyon. Saya menerapkan pelajaran yang dibagikan beliau kepada saya ketika saya menjadi Komandan Batalyon 328. Itu membuat Batalyon 328 sangat handal dan diakui oleh banyak orang sebagai salah satu batalyon terbaik selama bertahun-tahun. Juga salah satu ciri khasnya adalah bahwa beliau sangat memahami filsafat Jawa dan sejarah nusantara Pak Harto sering mengartikulasikan kepemimpinannya dengan ajaran kuno dan filsafat Jawa. Hal ini bisa dimengerti karena semua pendidikannya terjadi di Indonesia, di kampung halamannya di desa Kemusuk di Yogyakarta.
Kebanyakan bacaannya berasal dari para cendekiawan Jawa dari abad-abad sebelumnya. Filsafat yang paling sering beliau ajarkan adalah ojo dumeh, ojo lali, ojo ngoyo, ojo adigang, adigung, adiguna, selain ojo kagetan, ojo gumunan, dan sing becik ketitik sing olo ketoro. Buku yang beliau terbitkan, Butir-Butir Budaya Jawa, sangat bermanfaat. Ini adalah kumpulan aforisme, ajaran, dan pepatah. Buku beliau sangat penting untuk memahami psikologi Indonesia dan memahami latar belakang budaya Indonesia karena, tentu saja, budaya Jawa sangat memengaruhi pandangan Indonesia. Ajaran-ajaran ini bukan hanya slogan semata. Bagi banyak orang, ini menjadi panduan untuk hidup sukses, panduan untuk keberadaan yang bahagia di dunia ini. Ini juga merupakan panduan yang sangat praktis, dan sebenarnya, menurut pendapat saya, ini adalah suara kebijaksanaan yang dibawa sepanjang masa. Oleh karena itu, orang yang mengikuti ajaran-ajaran ini memanfaatkan kebijaksanaan para pendahulu kita, para leluhur kita, dan para kesatria kita. Saya ingin menceritakan satu peristiwa ketika Batalyon 328 yang saya pimpin diperintahkan untuk melaksanakan operasi di Timor Timur. Satu malam sebelum berangkat, saya dipanggil oleh Pak Harto ke kediamannya di Jalan Cendana. Saya memberitahu bawahan saya bahwa Pak Harto memanggil saya. Mereka senang. Sudah menjadi tradisi bahwa ketika Panglima Tertinggi memanggil seseorang sebelum mereka menjalankan misi, Pak Harto akan memberikan mereka sangu atau bantuan keuangan khusus. Dana ini bisa digunakan untuk memperkuat logistik, sehingga mengurangi beban para komandan. Saya tiba di Cendana sebelum pukul 20.30 malam. Setelah menerima seorang tamu, beliau menemui saya dan bertanya apakah benar saya akan melakukan operasi besok. Saya menjawab ya. Lalu beliau memberi tahu saya, ‘Saya hanya punya tiga nasihat untukmu, Bowo. Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Simpanlah erat di hatimu!’ Setelah saya menyatakan bahwa saya siap, Pak Harto dengan lembut meletakkan tangannya di atas kepalaku sebagai tanda berkat, seperti yang selalu beliau lakukan kepada anak-anaknya, cucunya, dan orang-orang terkasih, dan membiarkan saya pergi. Setelah kembali ke batalyon di Cilodong, semua perwira menunggu di ruang operasi, yang kita sebut ruang Yudha, ruang Perang. Mereka menunggu kabar baik dari kediaman Pak Harto. Saya menyampaikan kepada mereka bahwa saya hanya bertemu Pak Harto selama lima menit. Dalam pertemuan singkat itu, Pak Harto meninggalkan tiga pesan: Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Saya juga memberitahu mereka bahwa, untuk sementara waktu, saya juga terkejut dan sedikit kecewa. Karena daripada menerima dana, saya hanya diberi tiga nasihat. Namun, selama perjalanan satu jam dari Cendana ke Cilodong, saya memikirkan tiga nasihat yang diberikan oleh seorang Komandan yang tumbuh dalam operasi tempur. Pak Harto menjadi inisiator dan pelaksana Umum Serangan 1 Maret yang berhasil merebut kembali kendali Yogyakarta selama enam jam pada akhir tahun 1948. Pada kala itu, militer Belanda sangat kuat di Jawa Tengah. Beliau juga terlibat dalam berbagai operasi pemadaman di Sulawesi, seperti pemberontakan Andi Azis. Beliau juga memimpin pembebasan Irian Barat sebagai Panglima Operasi Mandala. Beliau juga menjadi tokoh kunci dalam menumpas pemberontakan G30S/PKI komunis pada tahun 1965. Sebagai seorang Panglima dengan pengalaman tempur luas, nasihat Pak Harto tentu saja harus memiliki makna yang sangat dalam. Pertama, ojo….

Source link