Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Bab: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]
Banyak contoh dalam sejarah bangsa kita di mana musuh mengungguli kami dalam hal kekuatan, senjata, dan pengalaman. Namun, karena sikap yang tepat, karena kebaikan pemimpin kita, jujur, patriotik, cerdas, rajin, dan tidak akan pernah tunduk pada dominasi bangsa asing, kami berhasil mengatasi segala kemungkinan berulang kali.
Salah satu kisah kepemimpinan paling cerdas di masa kolonial Nusantara berasal dari kisah kepemimpinan Teuku Umar. Sebagai anggota pasukan Belanda, ia berhasil mengelabui Belanda dua kali dengan ‘perang semu’ dan memperkuat gerakan perlawanan Aceh terhadap penjajah.
Sepanjang sejarah, telah terbukti berkali-kali bahwa kunci kemuliaan sebuah bangsa adalah kepemimpinan. Saat saya berada di angkatan bersenjata, saya belajar pepatah yang relevan untuk setiap prajurit di berbagai masa: ‘tidak ada prajurit buruk, hanya komandan yang buruk.’
Saya belajar pepatah lain sebagai seorang perwira muda: ‘Seribu kambing dipimpin oleh seekor harimau akan mengaum, tetapi seribu harimau dipimpin oleh seekor kambing akan mengembik.’
Salah satu kisah kepemimpinan paling cerdas di masa kolonial Nusantara adalah kisah Teuku Umar. Teuku Umar lahir di Meulaboh, Aceh Barat pada tahun 1854. Sejak kecil, Teuku Umar dikenal sebagai anak yang cerdas dan berani. Dia juga tegar dan gigih di hadapan kesulitan.
Teuku Umar berusia 19 tahun ketika ia pertama kali mengambil senjata dan melawan Belanda pada awal agresi Belanda pertama pada tahun 1873. Ketika ia berusia 29 tahun, ia berpura-pura menjadi kolaborator Belanda dan masuk ke dalam dinas militer Belanda. Dia disambut oleh Gubernur Van Teijn, yang berniat menggunakan Teuku Umar sebagai ‘agen’ untuk mendapatkan simpati Aceh.
Teuku Umar membuktikan keberhasilannya kepada Belanda dengan menghancurkan pos-pos pertahanan Aceh. Akibatnya, ia diberikan peran yang lebih besar dalam memimpin 17 komandan dan 120 prajurit, termasuk seorang laksamana.
Perlawanan Teuku Umar terhadap Belanda dimulai ketika kapal Inggris “Nicero” terdampar pada tahun 1884. Kapten dan kru dibawa tawanan oleh Raja Teunom, yang menuntut tebusan tunai. Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan Teuku Umar sebagai agen untuk merebut kembali kapal tersebut. Namun, ia menuntut agar diberikan banyak peralatan dan senjata. Belanda mengabulkan permintaannya.
Kemudian, Belanda terkejut oleh berita bahwa tentara mereka yang bergabung dengan Teuku Umar semua tewas di tengah laut. Teuku Umar mengambil semua senjata dan peralatan. Teuku Umar telah berbalik dan berpihak kepada Aceh melawan Belanda, sesuai dengan kekecewaan Belanda.
Perang panjang antara Aceh dan Belanda memaksa Teuku Umar untuk merancang strategi baru, menggunakan trik lama yang dia ketahui dengan baik. Sebagai ahli tipu muslihat sejati, sepuluh tahun kemudian, ia menyerahkan diri kepada Belanda lagi. Ia melakukannya dengan mengadakan ‘pertempuran semu’ dan menempatkan pasukan untuk mengirim pesan rahasia. Belanda, kagum, memberinya gelar ‘Teuku Johan Jenderal-Besar Pahlawan Belanda’. Tiga tahun kemudian, seperti yang Anda tebak, Teuku Umar mengkhianati Belanda untuk kedua kalinya. Dia membawa pasukannya dan 800 senjata, 25.000 peluru, 500 kg amunisi, dan $18.000 tunai.
Setelah bertahun-tahun berperang melawan Belanda, Teuku Umar terpojok ketika ia tiba di pinggiran Kota Meulaboh. Tentara Belanda mengetahui lokasinya; Teuku Umar dan pasukannya dikelilingi. Ia dan pasukannya memilih untuk langsung menghadapi Belanda dan bertempur sampai akhir. Sebuah peluru musuh menembus dadanya. Teuku Umar mati sebagai seorang pahlawan.