Pendapat Said Abdullah Tentang Pilkada Serentak Tahun 2024 – Waspada Online

by -28 Views

Jakarta – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Said Abdullah, menyatakan bahwa kerja sama politik dalam Pilkada Serentak 2024 harus dipahami sebagai kontestasi demokratis dan bukan ajang permusuhan.

Hal tersebut diungkapkan oleh Said untuk menjawab berbagai pertanyaan terkait daerah-daerah di mana calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang didukung oleh PDIP dianggap berhadapan dengan calon-calon dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).

“Kita harus melihat bahwa kerja sama politik dalam pilkada harus kita maknai sebagai kontestasi demokratis, bukan sebuah permusuhan politik. Cara pandang ini harus jelas terlebih dahulu,” kata Said seperti dilansir dari laman republika, Senin (23/9).

Menurutnya, pilkada merupakan jalur demokratis dan konstitusional untuk memilih pemimpin daerah. Setelah pilkada selesai, pihak-pihak yang sebelumnya bersaing seharusnya dapat bersatu kembali dan bekerja sama untuk membangun daerah sesuai peran masing-masing.

Said menilai bahwa terbentuknya kerja sama politik dalam pilkada di beberapa daerah oleh KIM, atau bahkan KIM Plus, harus dilihat dalam konteks politik pasca-Pilpres dan sebelum munculnya Putusan MK Nomor 60 pada 20 Agustus 2024.

“Jika saya membaca, saat itu memang ada beberapa keinginan dari sejumlah elit politik yang ingin mengulang kesuksesan pada pilpres dalam pilkada. Namun setelah munculnya Putusan MK No. 60 tahun 2024, dan munculnya sejumlah figur calon kepala daerah, peta politik telah berubah,” ujarnya.

Said mencontohkan pemilihan gubernur Jakarta di mana rencana awal untuk menggantikan Ridwan Kamil dari Jawa Barat ke Jakarta, untuk menghadapi Anies Baswedan, berubah dengan munculnya sosok Pramono Anung.

“Figur Mas Pram menjadi titik temu antara Pak Jokowi, Pak Prabowo dan Ibu Mega. Fakta politik baru inilah yang harus kita cermati, agar tidak hanya terpaku pada kerjasama politik formalistik,” jelas Said.

Dengan demikian, dirinya menekankan kontestasi pilkada adalah tentang figur yang ‘dijual’ kepada rakyat, yang mencakup prestasi, rekam jejak, kemampuan komunikasi politik dengan pemilih, strategi pemenangan, dukungan logistik, dan jaringan sosial.

“Tidak bermaksud meremehkan partai-partai pendukung, namun apapun itu, pemilih tetap melihat figur yang diusungnya,” tambah Said.

Selanjutnya, dalam survei sering muncul fenomena split ticket voting, di mana pendukung partai A bisa memilih kandidat dari partai B karena dianggap lebih memenuhi harapan mereka.

“Faktor split ticket voting dalam pilkada ini cukup besar. Sebab belum tentu aras elit sejalan dengan aspirasi grassroot-nya, mempertimbangkan situasi seperti ini, saya kira pilkada akan semakin dinamis. Dengan demikian kita tidak bisa hanya terpaku pada formalitas kerja sama politik,” pungkasnya. (wol/republika/mrz/d2)