Militer Israel (IDF) masih melakukan genosida di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023. Masyarakat internasional, terutama publik di negara-negara mayoritas Muslim, bertanya-tanya mengenai peran negara Arab dalam upaya menghentikan agresi Israel terhadap Palestina.
Menurut Profesor Yon Machmudi dari Universitas Indonesia, sebagian negara Arab awalnya siap bekerja sama dan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Namun, konflik antara Hamas dan IDF pada 7 Oktober 2023 telah mengubah situasi tersebut. Sekarang, opsi normalisasi hubungan tidak lagi relevan.
Ketua Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam di SKSG UI tersebut menyatakan bahwa negara Arab terlihat ambigu dalam posisinya. Mereka tidak tegas dalam menunjukkan dukungan untuk Palestina, karena masih mempertimbangkan kerja sama dengan Israel dan sekutunya, Amerika Serikat, terutama dalam hal keamanan.
Prof Machmudi menyalurkan kekecewaannya terhadap ketidakjelasan ini yang berdampak pada kurangnya dukungan optimal untuk Palestina. Setelah satu tahun agresi Israel di Jalur Gaza, kondisi rakyat Palestina semakin susah. Mereka menunggu akhir eskalasi serangan IDF, yang kini meluas hingga ke Lebanon.
Ia juga menyoroti pemerintahan Israel yang didominasi oleh kelompok sayap kanan ekstrem, Likud. Kepemimpinan Benjamin Netanyahu dari Likud dianggap sebagai penghalang utama bagi proses perdamaian.
Akademisi tersebut mengatakan bahwa Jalur Gaza terancam runtuh dalam situasi ini. Dunia menantikan langkah konkret dari pemimpin dunia, termasuk negara Arab tetangga Palestina. Jika tidak ada tindakan konkret, Gaza bisa runtuh dan diduduki oleh Israel dengan rakyatnya menjadi korban pembunuhan massal.
Machmudi mengingatkan bahwa Palestina mungkin hanya akan tinggal sebagai catatan sejarah, sementara di lapangan hanya ada negara Israel. Hal ini tidak diinginkan oleh kita dan dunia.