Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia melalui Pusat Studi Hubungan Internasional, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik (CIReS LPPSP) FISIP UI menyelenggarakan diskusi publik yang membahas tema “Mewujudkan Kemandirian Antariksa Indonesia di Tengah Rivalitas Global”. Diskusi ini berlangsung pada hari Selasa (27/05) di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI.
Dalam sambutannya, Dekan FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Purwanto, memberikan apresiasi atas upaya CIReS FISIP UI yang telah mengadakan seminar dengan topik yang sangat penting ini. “Kemandirian antariksa kini bukan hanya pilihan, melainkan suatu keharusan bagi Indonesia agar tetap dapat menjaga kedaulatan di tengah persaingan global yang semakin ketat. Negara-negara besar saat ini tengah berlomba-lomba dalam mengembangkan teknologi satelit dan misi luar angkasa. Antariksa telah menjadi arena kompetisi strategis yang dapat menentukan posisi suatu negara, oleh karena itu Indonesia tidak boleh ketinggalan. Oleh sebab itu, FISIP UI akan terus mendukung upaya penguatan kapasitas Indonesia dalam bidang strategis, termasuk antariksa,” ujarnya.
Sebagai pembicara utama, Prof. Thomas Djamaluddin (Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Antariksa (PRA) Badan Riset dan Inovasi Nasional) menjelaskan bagaimana mewujudkan kemandirian antariksa Indonesia di tengah rivalitas global. Indonesia telah menetapkan kebijakan dan program nasional di bidang antariksa dengan visi untuk mencapai kemandirian, kemajuan, dan keberlanjutan dalam kegiatan antariksa. Kemandirian ini diharapkan dapat tercapai melalui penguatan penelitian, pengembangan, dan rekayasa teknologi penerbangan dan antariksa, serta meluncurkan wahana antariksa melalui pembangunan bandar antariksa di wilayah Indonesia.
“Berbagai tantangan dalam bidang antariksa menjadi seperti fokus perhatian bagi Indonesia, termasuk keberlanjutan, ekonomi, dan keamanan. Indonesia juga memiliki rencana induk keantariksaan di tahun 2040 dengan tujuan tumbuhnya industri aeronautika nasional, industri roket dan satelit nasional. Oleh karena itu, satelit nasional memerlukan Earth Observation System (EOS) atau Sistem Pengamat Bumi yang dapat memberikan manfaat untuk telekomunikasi, navigasi, pengamatan dan pemetaan tata ruang, pengawasan lingkungan, serta penanggulangan bencana,” ungkap Prof. Thomas.
Perkembangan teknologi antariksa kini semakin menjadi penentu kekuatan dan kedaulatan suatu negara di era global. Penguasaan atas ruang angkasa bukan hanya menjadi simbol kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga memiliki peran yang strategis dalam aspek pertahanan, keamanan, ekonomi, dan pembangunan suatu negara.
Dalam skala global, perkembangan teknologi antariksa juga disertai dengan munculnya aktor-aktor baru non-negara, seperti perusahaan swasta, yang saling berkompetisi dalam menciptakan teknologi terbaru untuk eksplorasi dan pemanfaatan ruang antariksa.
Asra Virgianita, Ph.D. (Wakil Direktur Pusat Studi Hubungan Internasional (CIReS) LPPSP FISIP UI), menjelaskan bahwa pembangunan ruang antariksa saat ini lebih memprioritaskan aspek pendapatan ekonomi dibandingkan dengan dampak lingkungan, yang pada akhirnya menciptakan ketimpangan di mana hanya negara-negara maju dengan teknologi canggih yang dapat menikmati hasilnya tanpa memberikan manfaat yang signifikan bagi negara-negara di selatan global. “Persaingan terhadap kekuatan politik dan ekonomi atas sumber daya luar angkasa semakin sengit, antara AS, Cina, dan negara-negara berkembang,” tambahnya.
Dia juga menekankan bahwa dominasi negara-negara maju dan perusahaan teknologi dalam hal investasi, inovasi, dan eksplorasi ruang angkasa telah membentuk industri antariksa yang bersifat global. Negara-negara kaya dan perusahaan besar teknologi memiliki kendali atas sumber daya kunci, menentukan agenda strategis, dan mendorong perkembangan, yang sering kali membuat negara-negara berkembang seperti Indonesia memiliki akses yang terbatas terhadap manfaat teknologi dan komersialisasi antariksa.
Asra juga menyoroti bahwa penindasan terhadap negara-negara di selatan dunia terjadi baik di Bumi maupun di antariksa, mengingat mereka menghadapi tantangan dalam pembangunan dan kesetaraan. Di Bumi, negara berkembang masih berjuang dengan ketergantungan ekonomi, marginalisasi politik dan kerusakan lingkungan, yang sering kali ditentukan oleh sistem global yang tidak menguntungkan. Sementara di antariksa, akses terhadap teknologi antariksa dan kepemilikan sumber daya ekstraterestrial masih dikuasai oleh negara-negara maju.
Dinamika geopolitik dunia dipengaruhi oleh kekuatan di luar angkasa yang menentukan posisi dan pengaruh suatu negara di tingkat global. Oleh karena itu, Indonesia perlu terlibat secara aktif dalam mempersiapkan kapasitas nasional dan kebijakan yang sesuai agar tidak tertinggal dalam persaingan ruang angkasa yang semakin terbuka.
Prof. Dr. Fredy B.L. Tobing (Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional UI) menjelaskan pentingnya memanfaatkan diplomasi antariksa untuk memperkuat posisi Indonesia di tingkat regional dan global. “Indonesia harus dapat menetapkan agenda yang jelas dalam pengembangan ruang angkasa dan tidak terperangkap dalam status negara-negara tier ketiga yang memiliki kebijakan dan investasi namun belum memiliki teknologi dan fasilitas peluncuran yang memadai,” tandasnya.
Sebagai anggota United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS), Indonesia harus memanfaatkan dan meningkatkan kemampuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta ruang antariksa. Ketidakhadiran atau keterlambatan dalam bidang ini berisiko membuat Indonesia semakin bergantung pada pihak luar dan membatasi kapasitas nasional dalam melindungi kepentingan strategis dan hanya menjadi penonton.
Indonesia, dengan posisi geografis yang strategis sebagai negara kepulauan, memiliki potensi besar untuk berperan penting dalam tata kelola ruang antariksa baik secara regional maupun global. Prinsip Indonesia yang mengutamakan pemanfaatan ruang antariksa untuk kesejahteraan masyarakat dan perdamaian sejalan dengan visi ini. Namun, potensi ini belum sepenuhnya terwujud karena masih terdapat kendala dalam koordinasi kebijakan, kelembagaan, dan sumber daya yang mendukung ekosistem antariksa nasional.
Acara ini juga dihadiri oleh Anggarini Surjaatmadja, MBA (Asosiasi Antariksa Indonesia), Dr. Dave Akbarshah Fikarno Laksono, M.E. (Wakil Ketua Komisi I DPR RI), dan Yusuf Suryanto, S.T., M.Sc. (Direktur Transmisi, Ketenagalistrikan, Kedirgantaraan, dan Antariksa Kementerian PPN/Bappenas).
Sumber: FISIP UI Bahas Kemandirian Antariksa Indonesia Dan RUU Ruang Udara Dalam Sorotan Global
Sumber: FISIP UI Mengadakan Diskusi Publik Kemandirian Antariksa Indonesia Di Tengah Rivalitas Global