Biaya Hidup Semakin Tinggi, Satu Pekerjaan Tidak Lagi Mencukupi Kebutuhan – Waspada Online

by -97 Views

JAKARTA, Waspada.co.id – Tingkat kebutuhan hidup yang terus meningkat sementara pertumbuhan upah sulit mengimbangi kecepatannya, mendorong banyak orang mengambil pekerjaan lebih dari satu agar bisa meningkatkan pendapatan.

Fenomena side hustle, bekerja sampingan dengan menjadi freelancer atau terlibat dalam gig economy, menjadi tren yang terus meningkat di Indonesia dalam tiga tahun terakhir.

Proporsi pekerja yang memiliki pekerjaan sampingan pada tahun 2023 melampaui tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19 melanda. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), 15,45% pekerja di Indonesia pada tahun 2023 memiliki pekerjaan sampingan, naik dari 14,4% pada tahun 2022, dan sedikit melampaui proporsi 2019 yang sebesar 15,17%.

Sektor pertanian menjadi lapangan usaha di mana paling banyak pekerjanya memiliki pekerjaan lebih dari satu dengan proporsi mencapai 24,1%. Sementara di sektor jasa, ada 12,1% pekerja dengan side hustle dan 11% di sektor manufaktur yang memiliki pekerjaan lebih dari satu.

Banyak yang memiliki pekerjaan sampingan juga memiliki pekerjaan utama di sektor informal dengan proporsi mencapai 18,1%. Sedangkan pekerja di sektor formal yang memiliki side hustle mencapai 11,5%.

Hal ini menunjukkan bahwa motif utama seseorang memiliki pekerjaan lebih dari satu adalah karena pendapatan dari pekerjaan utama yang belum memadai. Mencari pendapatan tambahan melalui pekerjaan sampingan menjadi solusi yang logis agar kebutuhan hidup tetap terpenuhi.

“Motif ekonomi masih menjadi faktor utama dalam memiliki side hustle pekerja. Permasalahan pendapatan perlu menjadi perhatian pemerintah. Terlebih lagi, pendapatan yang layak adalah salah satu indikator dari pekerjaan yang layak,” kata dua peneliti Badan Pusat Statistik (BPS) Dewi L. Amaliah dan Ana L. Fitriyani dalam publikasi yang dirilis pada Rabu (28/2).

Pekerja di daerah pedesaan lebih banyak yang memiliki side hustle dengan persentase 21,6%. Sementara pekerja di perkotaan hanya 10,2% yang memiliki pekerjaan sampingan.

Saat melihat status pernikahan, pekerja yang sudah menikah lebih mungkin memiliki pekerjaan sampingan dengan persentase mencapai 17,6%. Sedangkan yang belum menikah, proporsinya hanya 7,8% yang memiliki side hustle dan mereka yang sudah bercerai memiliki pekerjaan lebih dari satu.

“Pekerja yang sudah menikah memiliki peluang lebih besar untuk memiliki side hustle karena dorongan untuk mendapatkan penghasilan lebih tinggi,” jelas peneliti BPS.

Selain itu, jika dalam sebuah rumah tangga jumlah orang yang bekerja sedikit, ada kecenderungan bagi pekerja di rumah tersebut memiliki pekerjaan lebih dari satu terutama yang berstatus sebagai kepala keluarga.

“Pekerja pria yang memiliki side hustle mencapai 18,1%, lebih tinggi daripada wanita sebesar 11,14%. Sementara menurut usia, pekerja dengan side hustle umumnya berusia 44 tahun, dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki side hustle di usia 39 tahun,” kata kajian yang sama.

Sementara kalangan pekerja dengan pendidikan tertinggi cenderung memiliki pekerjaan sampingan. Persentase pekerja berpendidikan tinggi seperti sarjana, magister, dan doktor, memiliki pekerjaan sampingan sebanyak 28,7%, lebih besar dibandingkan pekerja berpendidikan menengah atau dasar masing-masing 11,7% dan 17,8%.

Mengambil pekerjaan lebih dari satu juga membuat seorang pekerja bekerja lebih dari rata-rata. Mayoritas pekerja dengan side hustle bekerja lebih dari 40 jam per minggu.

Tuntutan ekonomi

Kajian tersebut juga menunjukkan hubungan antara tingkat pendapatan dan jumlah jam kerja pada pekerjaan utama. Tingkat pendapatan dan jumlah jam kerja pada pekerjaan utama berbanding terbalik dengan peluang memiliki pekerjaan tambahan, mengindikasikan adanya tuntutan ekonomi di balik fenomena side hustle.

Masih ada kesenjangan besar antara biaya hidup dan pendapatan seseorang. Sekalipun ada dua anggota rumah tangga yang bekerja, pendapatan mereka masih belum mencukupi kebutuhan hidup. Perbandingan dengan biaya hidup menunjukkan adanya kesenjangan tersebut.

Misalnya, di DKI Jakarta, pendapatan median untuk pekerja di sektor formal adalah Rp4,4 juta, sedangkan biaya hidup per rumah tangga di DKI Jakarta adalah Rp14,88 juta pada tahun 2022. “Dengan asumsi ada dua orang pekerja formal dalam satu rumah tangga, masih terdapat kekurangan dana sebesar Rp6,08 juta untuk menutup biaya hidup,” jelas peneliti BPS.

Hal yang sama terjadi di Cilacap, dimana median pendapatan pekerja formal adalah Rp1,8 juta dan biaya hidup per rumah tangga mencapai Rp5,38 juta. Dengan begitu, meskipun ada dua orang yang bekerja di rumah tangga, masih terdapat defisit dana sebesar Rp1,78 juta untuk menutup biaya hidup.

Kajian ini menggarisbawahi masalah pendapatan di kalangan pekerja yang belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, kebutuhan untuk memiliki pekerjaan sampingan juga menunjukkan bahwa pekerjaan layak masih jarang ditemui. Pekerjaan layak berarti pekerjaan yang memberikan upah yang cukup.

Di Indonesia saat ini, pekerjaan layak masih sulit didapatkan, terutama dengan proporsi sektor informal yang terus meningkat. Angka ini terus naik seiring dengan semakin maraknya pekerjaan berbasis kemitraan seperti ojek online, kurir online, dan sektor usaha mikro lainnya.

Banyak orang akhirnya membuka usaha mikro atau terlibat dalam gig economy dengan konsep kemitraan seperti ojek online, kurir online, dan sejenisnya. Pelaku usaha mikro di Indonesia pada tahun 2021 sudah mencapai 64,2 juta unit, setara dengan 99,6% dari total jumlah usaha di negara ini.

Di sektor gig economy, di mana pekerja dibayar berdasarkan kuantitas barang atau layanan yang dikerjakan, seperti ojek online dan kurir, juga diperkirakan mencapai 4 juta orang.

“Negara-negara dengan pendapatan tinggi cenderung memiliki tingkat self-employment yang lebih rendah, karena lebih banyak pekerja yang dapat bekerja sebagai pegawai di lapangan usaha formal,” tulis kajian SMERU Research Institute pada bulan Juni 2023.

Dengan kata lain, banyaknya UMKM, terutama yang mikro dan ultra mikro, di sebuah negara, ditambah dengan makin maraknya gig economy, bisa diinterpretasikan sebagai indikasi bahwa lapangan kerja di negara tersebut kurang berkualitas dan tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas pekerjaan yang layak.