Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]
Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dapat menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat, namun Gubernur Suryo juga merupakan seorang penceramah yang berbakat. Pidatonya menandai dimulainya perang sejarah Surabaya.
Bayangkan ini. Gubernur Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Dia bukan personil militer. Namun, dia memahami bahwa dia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Dia memahami peran kepemimpinannya: Seorang pemimpin harus sopan, harus membela kehormatan bangsa. Dia mewakili rakyatnya. Dia telah menunjukkan contoh besar kepada generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan sulit dan bagaimana seorang pemimpin bertindak tegas dalam mempertahankan tanah airnya.
Gubernur Suryo merupakan bagian integral dari peristiwa pada tanggal 10 November 1945. Dia berada di balik keputusan untuk memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa sejarah paling penting yang pernah dilawan oleh rakyat Indonesia. Ini adalah pertempuran besar antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari para pemuda dan siswa madrasah Surabaya, dengan Tentara Inggris. Itu adalah peristiwa pahlawan yang sangat heroik dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang telah begitu sulit diraih.
Pertempuran besar melawan pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, menewaskan lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsikan 200.000 warga sipil. Pertempuran besar dan ganas ini dirayakan setiap tanggal 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.
Pertempuran Surabaya diawali dengan kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada tanggal 30 Oktober 1945. Hal ini merupakan puncak dari pertempuran hampir satu minggu antara Brigade yang diperintah oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby melakukan kesalahan besar dengan membagi brigadenya ke unit tingkat peleton yang menduduki banyak pos terpencar di Surabaya. Pada saat itu, unit-unit bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah merebut ribuan senjata dari Jepang. Ada yang merupakan pasukan resmi. Ada yang merupakan relawan. Ada juga yang merupakan geng bersenjata. Oleh karena itu, peleton-peleton ini tidak dapat saling membela karena terlalu tersebar tipis di kota sebesar Surabaya. Brigade tersebut terhancur sebagai kekuatan terorganisir. Tindakan ini berujung pada pembunuhan Mallaby. Ini tentu saja merendahkan kehormatan Inggris. Mereka marah. Mereka menuntut agar para pelaku diburu, dan unit-unit Indonesia dinonaktifkan.
Inggris sangat marah atas kematian jenderal mereka, menuntut agar para pelaku ditangkap.
Serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Tentara Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir dalam kebuntuan.
Akhirnya, setelah salat Jumat pada tanggal 9 November 1949, Tentara Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menjatuhkan selebaran dari udara untuk semua penduduk Surabaya membacanya. Ultimatum tersebut menuntut agar semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan bahwa semua warga Indonesia yang tidak berizin untuk membawa senjata menyerahkan senjata mereka. Semua wanita dan anak-anak Indonesia diperintahkan untuk meninggalkan kota menuju Mojokerto dan Sidoarjo.
Batas waktu yang diberikan untuk ultimatum tersebut adalah pukul 18.00. Jika perintah tersebut tidak dipatuhi, Tentara Inggris bersumpah untuk menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum ini menciptakan panik di kalangan penduduk Surabaya. Namun, kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap berperang.
Gubernur Suryo meminta penduduk Surabaya untuk tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian sepenuhnya menyerahkan keputusan untuk menanggapi kepada rakyat Surabaya.
Pada saat kritis itu, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, secara luas, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia adalah bangsa besar yang mampu bertahan dalam serangan militer besar oleh pasukan asing. Bangsa ksatria ini tidak takut kepada siapa pun, termasuk kekuatan super seperti Britania, untuk mempertahankan kedaulatannya. Atau, jika dia memutuskan untuk menerima ultimatum, Indonesia akan kembali menjadi bangsa terjajah, bangsa yang terhina, bangsa yang merendahkan diri di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh pasukan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Gubernur Suryo.
Saat batas waktu yang ditetapkan oleh Inggris hampir habis, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan besar kepada rakyat Surabaya melalui radio. Berbeda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak bergairah. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang cukup kuat untuk memobilisasi semua yang mendengarkannya untuk bersenjata membela Surabaya.
Meskipun Bung Tomo diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dikenal karena orasinya yang menggugah, Governor Suryo dengan nada tenang namun tegas juga sangat berpengaruh. Pidato Gubernur Suryo menjadi ‘teriakan pertempuran’ pertama yang menandai dimulainya pertempuran bersejarah. Hanya bisa dibayangkan emosi mentahnya saat dia berbicara kepada rakyat Surabaya.
Lebih sulit lagi untuk memahaminya, mengingat bahwa Gubernur Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Namun, dia sepenuhnya menyadari perannya sebagai seorang pemimpin: Seorang pemimpin harus berani untuk mengambil keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela kehormatan tanah airnya. Dia mewakili rakyatnya. Dia adalah harapan rakyatnya. Inilah kualitas kepemimpinan besar yang telah dia tunjukkan kepada generasi muda.
KAMI LEBIH MEMILIH HANCUR DARIPADA DIJAJAH LAGI!
Saudara-saudara,
Pemimpin kami di Jakarta telah berusaha sebaik mungkin untuk mengelola perkembangan di Surabaya. Tetapi sayangnya, semua sia-sia. Sekarang terserah kita, rakyat Surabaya, untuk memutuskan langkah selanjutnya. Semua upaya kita untuk bernegosiasi telah gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan bangsa kita, kita harus memegang teguh dan menguatkan tekad kita untuk menghadapi segala kemungkinan.
Berulang kali, kami telah menyatakan posisi kami: Kami lebih memilih hancur daripada direkolonisasi. Sekarang, menghadapi ultimatum Inggris, kami akan tetap mempertahankan sikap itu. Kami akan tetap teguh menolak ultimatum tersebut.
Di hadapan segala kemungkinan besok, mari kita semua menjaga persatuan antara pemerintah, rakyat, angkatan bersenjata (TKR), polisi, pemuda dan organisasi perlawanan grassroot. Mari kita berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa agar diberi kekuatan-Nya serta Berkat dan Petunjuk-Nya dalam pertempuran ini.
Selamat berjuang!
Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo